PENGELOLAAN EKOWISATA
PADA WILAYAH PESISIR DI PULAU-PULAU KECIL DAN KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI
BESERTA EKOSISTEMNYA
Yohanes Johan Mahasiswa
Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH, yohanesjohan95@gmail.com
ABSTRAK
Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki
garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Salah satu keuntungan
yang dimiliki negara Indonesia adalah potensi sumberdaya pesisir yang sangat
besar dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian warga negara
Indonesia, khususnya adalah masyarakat pesisir yang langsung berhubungan dengan
kekayaan alam tersebut. Namun ada dua permasalahan dasar yang terjadi di
Indonesia yaitu, belum ada pengelolaan yang merata bagi masyarakat pesisir dan
pulau-pulau kecil. Salah satu solusi dari permasalahan tersebut adalah
pengelolaan ekowisata daerah. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip
pengembangannya seperti, pelestarian, perekonomian, pendidikan, hingga
partisipasi masyakat setempat, ekowisata menjadi salah satu alternatif yang
baik untuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dan tentunya akan
meningkatkan perekonomian masyarakat setempat khususnya. Permasalahan kedua
adalah pengelolaan sumberdaya perairan tanpa memperhatikan kelestarian ekosistem,
yang dapat merusak ekosistem perairan dan tentunya akan mempengaruhi
faktor-faktor lainya seperti kualitas perairan, pencemaran dzn lain sebagainya.
Hal ini bisa diatasi dengan pembukaan kawasan konservasi dengan menggunakan
strategi-strategi pengelolaannya, contohnya meningkatkan pembentukan sistem
kawasan lindung berikut pengelolaannya secara efektif dengan partisipasi
masyarakat sekitar tentunya. Dengan dua pengelolaan tersebut tentunya dapat
meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir dan kelestarian ekosistem perairan
tetap terjaga.
Kata kunci : Pengelolaan, wilayah pesisir, ekowisata,
konservasi
1. Pendahuluan
Negara
Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia
sehingga dijuluki negara maritim. Indonesia memiliki luas wilayah sebesar
±5.193.250 kilometer persegi, yang terdiri dari luas wilayah laut ±3.166.163
kilometer persegi dan luas wilayah daratan adalah ±2.027.087 kilometer persegi.
Garis pantai yang dimiliki Indonesia adalah ±80.791,42 kilometer yang merupakan
garis pantai kedua terpanjang di dunia setelah Kanada. Keseluruhan laut
Indonesia mencapai 75,3% dari total wilayah Kesatuan Negara Republik Indonesia
(Agus Ardhiansyah, 2011).
Dengan
panjangnya garis pantai yang dimiliki Indonesia, tentunya besar potensi yang
terdapat didalamnya. Potensi-potensi yang terdapat di Indonesia, diantaranya
ekosistem pantai, mangrove, lamun dan terumbu karang serta biota yang terdapat
di perairan pesisir Indonesia dan memiliki nilai jual yang tinggi.
Pengelolaan
potensi wilayah sudah ada sejak dulu, namun pengelolaan yang hanya berlandaskan
nilai ekonomis dan tidak memperhatikan keberlangsungan ekologis perairan laut.
Hal ini mengakibatkan terjadinya permasalahan lingkungan perairan laut, seperti
rusaknya tiga penampang ekosistem besar perairan laut yang meliputi ekosistem
mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Rusaknya penampang ekosistem air
laut itu membuat terganggunya stabilitas perekonomian masyarakat pesisir.
Oleh
karena itu perlunya peraturan tegas dalam menangani permasalahan tersebut.
Salah satunya adalah melalui Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia.
Ada beberapa undang-undang yang terkait akan lingkungan hidup di Indonesia,
seperti Undang-Undang tentang Perikanan, Undang-Undang tentang Konservasi, Undang-Undang
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil dan masih banyak
lagi.
Adapun
tujuan dari penulisan dari penulisan artikel ini adalah untuk memahami tentang
pengelolaan ekowisata pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta konservasi
sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya berdasarkan Peraturan
Perundang-Undangan yang telah ada atau dibuat di Indonesia.
2. Metode
Penulisan
Metode
penulisan dari artikel ini adalah menggunakan metode studi kasus. Metode studi
kasus adalah metode penulisan artikel dengan berdasarkan isi jurnal atau
artikel serta buku-buku yang berhubungan atau berkaitan dengan artikel yang
akan ditulis atau dibuat.
3. Pengelolaan
Ekowisata pada Wilayah Pesisir di Pulau-Pulau Kecil dan Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati beserta Ekosistemnya
3.1 Pengelolaan
Ekowisata pada Wilayah Pesisir di Pulau-Pulau Kecil
A. Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan,
pemanfaat, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau
kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara
ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sementara wilayah pesisir adalah daerah
peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di
daerah dan laut. Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama
dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya (Pasal 1, Undang-Undang Republik
Indonesia no 1 tahun 2014; diunduh di http://surajis.file.wordpress.com).
Sumberdaya
pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati;
sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumberdaya hayati meliputi, ikan,
terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumberdaya
nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumberdaya buatan
meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan
jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat
instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi
gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir (Pasal 1, Undang-Undang
Republik Indonesia no 1 tahun 2014; diunduh di http://surajis.file.wordpress.com).
Sementara
itu prinsip untuk perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
berdasarkan PERMENDKP nomor 16 tahun 2008, yaitu:
a. merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan/atau komplemen dari sistem perencanaan
pembangunan daerah;
b.
mengintrigasikan kegiatan antara pemerintah dengan pemerintah daerah,
antarsektor, antar pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat, antara ekosistem
darat dan ekosistem laut, dan antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip
manajemen;
c. dilakukan
sesuai dengan kondisi biogeofisi dan potensi yang dimiliki masing-masing
daerah, serta dinamika perkembangan sosial budaya daerah dan nasional; dan
d. melibatkan
peran serta masyarakat setempat dan pemangku kepentingan lainnya.
Dalam
pengelolaan perairan pesisir, izin pengelolaan sangat dibutuhkan. Menurut UU
nomor 1 tahun 2014, izin pengelolaan adalah izin yang diberikan untuk melakukan
kegiatan pemanfaatan sumberdaya perairan
pesisir dan perairan pulau-pulau kecil. Setiap orang yang melakukan pemanfaatan
ruang dari sebagian Perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil
secara menetap wajib memiliki izin (pasal 16). Izin lokasi tidak dapat diberikan
pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai
umum (pasal 17).
B. Pengembangan
Ekowisata di Daerah
Ekowisata
adalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggungjawab dengan
memperhatikan unsur-unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap
usaha-usaha konservasi sumberdaya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat
lokal (Pasal 1, Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 33 tahun 2009; diunduh di
http://hukum.unsrat.ac.id). Jenis-jenis ekowisata di daerah antara lain: 1)
ekowisata bahari, 2) ekowisata hutan, 3) ekowisata pegunungan; dan/atau 4)
ekowisata karst (Pasal 2, Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 33 tahun 2009).
Prinsip
pengembangan ekowisata meliputi (Pasal 3, Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor
33 tahun 2009) :
a. kesesuaian
antara jenis dan karakteristik ekowisata;
b. konservasi,
yaitu melindungi, mengawetkan, dan memanfaatkan secara lestari sumberdaya alam
yang digunakan untuk ekowisata;
c. ekonomis,
yaitu memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi penggerak
pembangunan ekonomi di wilayahnya serta memastikan usaha ekowisata dapat
berkelanjutan;
d. edukasi,
yaitu mengandung unsur pendidikan untuk mengubah persepsi seseorang agar
memiliki kepedulian, tanggungjawab, dan komitmen terhadap pelestarian
lingkungan dan budaya;
e. memberikan
kepuasan dan pengalaman kepada pengunjung;
f. partisipasi
masyarakat, yaitu peran serta masyarakat dalam kegiatan perencanaan,
pemanfaatan, dan pengendalian ekowisata dengan menghormati nilai-nilai sosial-budaya
dan keagamaan masyarakat di sekitar kawasan; dan
g. menampung
kearifan lokal
Dalam
Pasal 18, PERMEN nomor 33 tahun 2009, pemerintah dan pemerintah daerah
memberikan insentif dan kemudahan kepada penanam modal yang melakukan
pengembangan ekowisata. Insenti tersbut antara lain berupa:
a. pengurangan,
keringanan atau pembebasan pajak daerah;
b. pengurangan,
keringanan atau pembebasan retribusi daerah;
c. pemberian
dana stimulan; dan atau
d. pemberian
bantuan modal
Sementara
kemudahan yang dimaksud antara lain berupa:
a. penyediaan data dan informasi peluang penanaman modal;
b. penyediaan sarana dan prasarana;
c. penyediaan lahan atau lokasi;
d. pemberian bantuan teknis, dan/atau
e. percepatan pemberian izin.
Namun
pihak penanam modal perlu mengadakan pembedayaan masyarakat setempat dalam
pengelolaan ekowisata, seperti pengembangan ekowisata wajib memberdayakan
masyarakat dimulai dari perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ekowisata.
Pemberdayaan masyarakat diselenggara melalui kegiatan peningkatan pendidikan
dan keterampilan masyarakat ( pasal 20 dan 21, PERMEN nomor 33 tahun 2009).
Setiap
orang dilarang merusak sebagian atau seluruh fisik daya tarik wisata. Yang
dimaksud merusak fisik daya tarik wisata adalah melakukan perbuatan mengubah
warna, mengubah bentuk, menghilangkan spesies tertentu, mencemarkan lingkungan,
memindahkan, mengambil, menghancurkan, atau memusnahkan daya tarik wisata
sehingga berakibat berkurang atau hilangnya keunikan, keindahan, dan nilai
autentik suatu daya tarik wisata yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah (pasal 27, UU nomor 10 tahun 2009; diunduh di:
http://www.parekraf.go.id).
3.2 Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati beserta Ekosistemnya
A. Konservasi
Negara
pantai harus menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sumber kekayaan
hayati di zona ekonomi eksklusifnya dengan didasari bukti-bukti ilmiah serta
harus melakukan tindakan-tindakan untuk mencegah eksploitasinyang berlebihan
terhadap sumber kekayaan hayati tersebut. Tindakan-tindakan tersebut harus
ditetapkan agar populasi ikan berada pada tingkat yang dapat memberikan hasil
tangkapan lestari (Maksimum Sustainable Yield) dalam mengambil tindakan
tersebut, negara-negara pantai dan organisasi internasional yang kompeten
bekerja sama dan mempertukarkan informasi-informasi ilmiahnya (Pasal 61: Hukum
Laut Internasional; dikutip Heru Prijanto, 2007).
Pasal
62 mengharuskan negara pantai untuk menggalakkan pemanfaatan sumber kekayaan
hayati di zona ekonomi eksklusifnya secara optima. Untuk itu, negara pantai
harus menetapkan kemampuan memanen sumber kekayaan hayati tersebut. Apabila
kemampuan tersebut tidak cukup untuk memanen jumlah tangkapan dibolehkan maka
kapal-kapal ikan asing harus diberi akses ke zona ekonomi eksklusifnya agar
dapat mengeksploitasi kelebihan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Heru
Prijanto, 2007).
Apabila
suatu cadangan ikan berada dalam dua zona ekonomi eksklusif negara pantai atau
lebih, negara-negara yang bersangkutan harus membuat persetujuaan untuk
langkah-langkah konservasinya. Apabila suatu cadangan ikan berada di zona
ekonomi eksklusif dan di luar itu, negara pantai dan negara-negara yang
menangkap cadangan ikan di luar zona ekonomi eksklusif mempunyai kewajiban yang
sama (Pasal 63; dikutip Heru Prijanto, 2007).
Di
dalam zona ekonomi eksklusifnya, suatu negara pantai dapat mengambil
tindakan-tindakan untuk menjamin ditaatinya peraturan-peraturan yang ada
termasuk untuk menghentikan, memaksa, menahan, dan menuntutnya secara hukum.
Meskipun demikian, kapal yang ditahan harus dibebaskan setelah dibayarkan uang
jaminan. Pada dasarnya, negara pantai tidak boleh menggunakan pemenjaraan atau
hukuman badan lainnya terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan di zona
ekonomi eksklusif (Pasal 64; dikutip Heru Prijanto, 2007).
Pasal
4, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 15 tahun 1984, (1) Menteri
Pertanian menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan menurut jenis atau
kelompok jenis sumberdaya alam hayati di sebagian atau seluruh Zona Eksklusif
Ekonomi Indonesia. (2) Penetapan jumlah tangkapan yang diperbolehkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan kepada data hasil penelitian,
survei, evaluasi dan/atau hasil kegiatan penangkapan ikan (I Made Pasek
Diantha, 2002).
Sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumberdaya alam
yang terdiri dari alam hewani, alam nabati, ataupun berupa batu-batuan dan
keindahan alam dan lain sebagainya, yang masing-masing mempunyai fungsi dan
manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup. Karena sifatnya yang tidak
dapat diganti-ganti dan peranannya begitu besar bagi kehidupan manusia, maka
upaya konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sudah menjadi
kewajiban mutlak dari setiap generasi di manapun berada dan pada zaman kapan
pun (Suhartini, 2009 ; di unduh di http://eprints.uny.ac.id).
Kawasan
konservasi perairan menurut IUCN (1994) adalah perairan pasang surut, dan
wilayah sekitarnya, termasuk flora dan fauna di dalamnya, dan penampakan
sejarah serta budaya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif,
untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya. Sedangkan
menurut Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 dijelaskan bahwa Kawasan
Konservasi Perairan (KKP) adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan
sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya
secara berkelanjutan (dikutip dari Hanoko Adi Susanto, 2011).
B. Perlindungan
Penyanggaan Kehidupan
Sistem
penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan
nonhayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk (pasal 6, Undang-undang
nomor 5 tahun 1990; diunduh di http://ditjenphka.dephut.go.id). Perlindungan
sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang
menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan mutu kehidupan manusia(pasal 7). Wilayah sistem penyangga kehidupan yang
mengalami kerusakan secara alami dan/atau oleh karena pemanfaatannya serta oleh
sebab-sebab lainnya diikuti dengan upaya rehabilitasi secara berencana dan
berkesinambungan (pasal 10).
Strategi
konservasi keanekaragaman hayati dalam Agenda 21 Indonesia (1997) dibagi
sebagai berikut (dikutip dari Suhartini, 2009) :
1. Meningkatkan pembentukan
sistem kawasan lindung berikut pengelolaannya secara efektif.
2. Melestarikan keanekaragaman
hayati pada kawasan agroekosistem dan kawasan non-lindung/produksi
3. Pelestarian keanekaragaman hayati ex-situ
4. Melindungi sistem pengetahuan
masyarakat tradisional serta meningkatkan seluruh sistem pengetahuan yang ada
tentang konservasi dan keanekaragaman hayati.
5. Mengembangkan dan
mempertahankan sistem pengelolaan keanekaragaman hayati berkelanjutan, termasuk
pembagian keuntungan yang adil.
C. Zonasi Kawasan Konservasi Perairan
Zonasi
kawasan konservasi perairan adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan
ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya
dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu
kesatuan ekosistem. Rencana pengelolaan kawasan konservasi perairan memuat
susunan kerangka kebijakan, prosedur, dan tanggung jawab dalam rangka
pengordinasian pengambilan keputusan di antara berbagai lembaga/instasi
pemerintah mengenai kesepakatan penggunaan sumberdaya atau kegiatan pembangunan
di zona yang ditetapkan (Hanoko Adi Susanto, 2011).
Rencana
zonasi kawasan konservasi perairan mengacu pada Undang-Undang No.31/2004
sebagaimana telah direvisi dengan Undang-Undang No.45/2009 tentang Perikanan
dan Peraturan Pemerintah No. 60/2008 tentang konservasi sumberdaya ikan.
Didalam peraturan peraturan perundangan tersebut maka zonasi KKP terdiri dari
zona inti, zona perikan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya.
Untuk kasus-kasus yang spesifik, maka akan ada sub-sub zona sebagai bagian dari
keempat zona utama yang penentuanya disesuaikan dengan potensi, karakteristi,
dan pertimbangan sosial ekonomi masyarakat sekitar (Hanoko Adi Susanto, 2011).
D. Pemanfaatan
secara Lestari Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Pemanfaatan
secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui
kegiatan pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam serta
pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar (pasal 26, UU nomor 5 tahun 2009).
Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan
pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan
(pasal 27), sedangkan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan
dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa liar (pasal 28).
E. Peran serta
rakyat dalam Konservasi
Peran
rakyat dalam konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya diarahkan dan
digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil
guna (pasal 37, UU nomor 5 tahun 2009). Dalam mengembangkan peran serta rakyat,
Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan (pasal
38).
4. Kesimpulan
Pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah pengkoordinasian perencanaan,
pemanfaat, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau
kecil. Salah satu pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah
ekowisata daerah. Prinsip pengelolaan ekowisata daerah antara lain adalah,
kesesuaian antara jenis dan karakteristik ekowisata; konservasi; ekonomis;
edukasi; memberikan kepuasan dan pengalaman kepada pengunjung; partisipasi
masyarakat; dan menampung kearifan lokal. Dalam pengembangan ekowisata,
pemerintah dan pemerintah daerah memiliki peran untuk memberikan insentif dan
kemudahan kepada penanam modal yang melakukan pengembangan ekowisata. Namun
penanam modal juga memiliki kewajiban untuk mengadakan pemberdayaan kepada
masyarakat setempat dalam bentuk pendidikan atau edukasi.
Dalam
perjalanan kegiatan wisata, hal yang perlu diperhatikan adalah kelestarian
ekosistem yang terdapat pada tempat wisata. Contoh dampak umum dari pengelolaan
yang salah adalah rusaknya ekosistem yang terdapat pada lokasi wisata. Hal ini
juga akan berpengaruh terhadap kunjungan dari wisatawan. Diperlukan penanganan
yang baik dalam pengelolaan ekowisata berbasis kelestarian ekosistemnya.
Salah
satu penanganannya adalah konservasi, yang merupakan suatu kegiatan pelestarian
suatu ekosistem sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan tampa merubah
peran ekologis dari suatu ekosistem. Untuk menerapkan konservasi diperlukan
beberapa strategi pengelolaan yaitu, meningkatkan pembentukan sistem kawasan
lindung berikut pengelolaannya secara efektif; melestarikan keanekaragaman
hayati pada kawasan agroekosistem dan kawasan non-lindung/produksi; pelestarian
keanekaragaman hayati ex-situ; melindungi sistem pengetahuan masyarakat
tradisional serta meningkatkan seluruh sistem pengetahuan yang ada tentang
konservasi dan keanekaragaman hayati; dan mengembangkan dan mempertahankan
sistem pengelolaan keanekaragaman hayati berkelanjutan, termasuk pembagian
keuntungan yang adil. Metode pengelolaan kawasan konservasi adalah zonasi
wilayah dan peran dari masyarakat setempat, agar apa yang ingin dicapai lebih
optimal.
Daftar Pustaka
Dantara,
I Made Pasek. 2002. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; Berdasarkan Konvensi
Hukum Laut PBB 1985. Mandar Maju, Denpasar.
Prijanto,
Heru. 2007. Hukum Laut Internasional. Bayumedia, Malang.
Undang
– Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya. <diunduh di
:http://ditjenphka.dephut.go.id>
Undang
– Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 2014n tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau kecil. <diunduh di :http://surajis.file.wordpress.com>
Undang
– Undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 1990 tentang Kepariwisataan.
<diunduh di: http:// http://www.parekraf.go.id>
Undang
– Undang Republik Indonesia nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. <diunduh
di : http://m.hukumonline.com>
Undang
– Undang Republik Indonesia nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan <diunduh di : :
http://m.hukumonline.com>
Peraturan
Menteri Dalam Negeri nomor 33 tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata
di Daerah. <diunduh di: http://hukum.unsrat.ac.id>
Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia nomor 16 tahun 2008 tentang
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. <diunduh di:
http://jdih.cimahikota.go.id>
Susanto,
Hanoko Adi. 2011. Program Pengembangan Sistem Kawasan Konservasi Perairan Indonesi;
Development and Progress of Marine Protected Area System in Indonesia. Coral
Triangle Initative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security Interim
Regional Secretariat Ministry of Marine Affairs and Fisheries of the Republic
of Indonesia, Jakarta.
Ardhiansyah,
Agis. 2011. Pembakuan Nama Pulau di Indonesia Sebagai Upaya untuk Menjaga
Kedaulatan Negara Republik Indonesia. Universitas Brawijaya, Semarang.
Suhartini.
2009. Peran Konservasi Keanekaragaman Hayati Dalam Menunjang Pembangunan yang
Berkelanjutan. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
0 Response to "PENGELOLAAN EKOWISATA PADA WILAYAH PESISIR DI PULAU-PULAU KECIL DAN KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI BESERTA EKOSISTEMNYA"
Post a Comment