Sejarah
Perkembangan LIMNOLOGI menurut Forel (1901) di
dalam bukunya yang berjudul Handbuch der Seekunde, Allgemeine Limnologie.
Istilah limnologi pertama kali digunakan oleh
Forel (1901) di dalam bukunya yang berjudul Handbuch der Seekunde, Allgemeine
Limnologie. Buku tersebut membahas tentang ekosistem danau. Sebenarnya
limnologi telah diperkenalkan lebih dulu oleh Zacharias (1891) yang mendirikan
laboratorium penelitian di bidang limnologi, Thienemaa kemudian
mengembangkannya dan memberi nama institusi tersebut Institut Max-Planck. Sejak
saat itu limnologi berkembang cukup pesat. Pada dekade 90-an limnologi menjadi
sebuah ilmu yang menyedot perhatian dunia, terutama disebabkan karena besarnya
kebutuhan air bersih untuk kepentingan domestik, tetapi ketersediaan air bersih
di alam semakin menipis akibat berbagai aktifitas manusia baik secara langsung
maupun tidak langsung. Aktivitas pembuangan limbah rumah tangga dan industri ke
dalam badan sungai menyebabkan kualitas air sungai jatuh pada kondisi tidak
layak sebagai sumber air bersih untuk kepentingan rumah tangga. Pemanfaatan
danau sebagai daerah objek wisata dengan membangun fasilitas pendukung
disekitarnya menyebabkan danau cepat mengalami pendangkalan dan menurunkan
kualitas air di dalamnya. Berkembangnya pemukiman penduduk, pesatnya
pembangunan perkotaan, dan penebangan hutan menyebabkan berkurangnya daerah
resapan air sehingga air hujan akan mengalir menjadi air permukaan menuju ke
laut atau menguap. Masih banyak lagi prilaku yang menyebabkan ketersediaan air
bersih semakin menipis Pada tahun 1992 KTT Bumi di Brasil menghasilkan
kesepakatan yang dikenal dengan Agenda 21. Pada KTT tersebut dihasilkan
komitmen bersama, salah satunya adalah mengenai manajemen global untuk dapat
menjaga kelestarian alam termasuk air bersih. Selanjutnya pada tahun 1992,
bertempat di Johannesburg pertemuan World Summit on Sustainable Development
menghasilkan kesepakatan yang dikenal dengan Rio+10. Kesepakatan tersebut
berisi tentang prioritas penyediaan air bersih untuk penduduk miskin dunia di
tahun 2015. PBB juga mengeluarkan Resolusi no 55/196 tahun 2003 dan menjadikan
tahun itu sebagai International Year of Fresh Water. Tahun 2003 di Jepang juga
diselenggarakan pertemuan World Water III dengan tujuan mendapat kesepakatan
dalam pemanfaatan danau dan reservoir secara sustainable yang berfokus pada
keunikan, keragaman manfaat dan kepentingan danau dan reservoir dalam kehidupan
manusia. Selanjutnya PBB melalui UNESCO mengeluarkan program IHP (International
Hydrological Programme) dimana diharapkan konflik menjadi kooperatif dan HELP
(Hydrology, Environment, Life and Policy) berupa promosi manajemen terintegrasi
sungai dan antar sektor.
Di Indonesi perkembangan limnologi secara
tidak langsung juga cukup pesat meskipun belum terorganisasi secara baik.
Sampai saat ini belum ada lembaga yang khusus mengelola sumber daya air
daratan. Perusahaan air minum, masih pada tahap eksploitasi, Otorita waduk juga
masih belum optimal dalam pengelolaan. Kementrian Lingkungan Hidup juga masih
berkutat pada persoalan-persoalan tekhnis. Manajemen sumber daya perairan darat
yang sustainable memang bukan persoalan mudah dan harus terintegrasi. Melihat
persoalan yang begitu rumit maka sebenarnya kesadaran masing-masing individu
untuk bersikap arif dan bijak dalam memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia
sangat dibutuhkan. Pendekatan sosial, budaya, agama, dan akademis serta pendekatan
hukum formal yang terintegrasi mungkin menjadi jalan keluar agar kita dapat mewariskan
apa yang diciptakan oleh Tuhan kepada generasi berikutnya. Bukankah tugas manusia
sebagai Khalifah di bumi adalah menjaga dan melestarikannya.?
0 Response to "Sejarah Perkembangan LIMNOLOGI menurut Forel (1901)"
Post a Comment